
Bola.net - Old Trafford pernah menjadi panggung duel dua raksasa Italia ketika AC Milan bertemu Juventus dalam final Liga Champions 2003.
Di balik hasil imbang 0-0 yang berlangsung selama 120 menit dan kemenangan Milan lewat adu penalti, ada parade nama besar: Alessandro Nesta, Filippo Inzaghi, Andrea Pirlo, Paolo Maldini, dan dari kubu Juve ada Alessandro Del Piero, Gianluigi Buffon, serta Gianluca Zambrotta.
Momen itu adalah bagian dari perjalanan panjang Carlo Ancelotti dalam lingkaran elite kepelatihan Eropa. Laga itu menjadi simbol betapa lamanya Ancelotti berada di orbit sepak bola papan atas.
Pria yang kerap disebut sebagai pelatih paling santai—dengan cerutu dan secangkir kopi—telah mengumpulkan begitu banyak sejarah dalam kariernya.
Maldini, kapten Milan malam itu, memulai debut pada 1985. Sementara Jude Bellingham, pemain yang diboyong Ancelotti ke Real Madrid dua tahun lalu, baru berusia 21 tahun dan mungkin masih aktif bermain hingga 2040. Artinya, Ancelotti masih relevan di era sekarang.
Tak Punya Trademark, tapi Penuh Prestasi
Berbeda dengan banyak pelatih besar lainnya, Ancelotti tidak dikenal sebagai pencetus gaya tertentu. Tak ada yang disebut sebagai “Aliran Ancelotti”.
Ia bukan pelopor tiki-taka seperti Guardiola, bukan arsitek Total Football seperti Johan Cruyff, dan tidak pula spesialis parkir bus seperti Jose Mourinho. Ia tak mengajarkan gegenpressing seperti Klopp atau menjadi guru besar sepak bola menyerang seperti Marcelo Bielsa.
Meski begitu, Anda tetap bisa berargumen bahwa Ancelotti adalah manajer klub terbaik sepanjang masa. Hanya saja, perdebatan itu jarang muncul. Coba tanyakan: Seperti apa sebenarnya ciri khas permainan tim Ancelotti?
Ia bukan tipe pelatih yang terobsesi pada kemurnian taktik atau bentuk ideal permainan seperti Guardiola yang sampai mencakar wajah sendiri karena stres. Ia tidak seperti Klopp yang memilih mundur karena kelelahan atau Bielsa yang begitu intens hingga memancarkan kegelisahan konstan.
Ancelotti justru terlihat santai. Ia menjalani profesinya dengan pendekatan filosofis—tidak terlalu larut dalam tekanan. Ia pernah menjadi pemain untuk Arrigo Sacchi di Milan, tetapi tidak mewarisi gaya eksentrik mentornya.
Sacchi adalah ilmuwan sepak bola yang menyarankan terapi lumpur panas di tahun 1980-an. Namun, Ancelotti? Ia lebih memilih kedalaman nalar yang tenang ketimbang eksperimen ekstrem.
Piala Demi Piala, Era Demi Era
Tak perlu gaya mencolok jika hasilnya gemilang. Ancelotti telah mengoleksi 30 trofi sebagai pelatih. Memang belum menyamai Guardiola yang sudah mendekati 40, tetapi hanya Ancelotti yang mampu menjuarai lima liga top Eropa—Premier League, La Liga, Serie A, Bundesliga, dan Ligue 1.
Tambahkan lima gelar Liga Champions ke dalam daftar, dan Anda akan menemukan satu-satunya pelatih yang telah menyapu bersih semua level tertinggi kompetisi klub Eropa.
Ia memulai dari era analog—gelar Eropa pertamanya diraih pada 2003—dan tetap relevan hingga era digital di 2024. Bagi mereka yang mengira Ancelotti akan usang oleh zaman, kenyataannya justru sebaliknya.
Kepercayaan klub-klub elite padanya bukan hanya karena status, tapi juga karena kemampuan menjalin hubungan dengan para pemainnya.
Ancelotti yang Tetap Relevan
Pada usia 65, Ancelotti tetap relevan di dunia yang terus berubah. Sepak bola telah mengalami banyak transisi, namun Ancelotti selalu ada, tetap bertahan dan terus menangani klub-klub besar.
Para pemain bisa terkoneksi dengannya, dari generasi awal 2000-an hingga generasi saat ini. Ia bertahan bukan karena prinsip kaku, melainkan karena fleksibilitas. Ia menyesuaikan taktik dengan kekuatan skuad, bukan memaksakan ideologi pribadi.
Itu tidak selalu berhasil—Real Madrid pun sempat tergelincir musim ini—namun keberhasilan musim lalu dengan gelar La Liga dan Liga Champions menunjukkan kemahirannya membaca dinamika tim.
Namun, kini ketika ia resmi meneken kontrak untuk melatih tim nasional Brasil dan mulai bekerja bulan ini, mungkin saja ini adalah bab terakhir dari kiprah Ancelotti di level klub.
Tempat Ancelotti di Panggung Sejarah
Menempatkan Ancelotti di antara para legenda tak mudah. Ia tak punya aliran, murid, atau pengikut. Namun, ia punya gelar.
Dan ia melakukannya dengan gaya santai—menikmati kopi sambil timnya mencetak gol, berpose dengan cerutu usai mengangkat trofi. Ia mungkin tak ingin dinilai berdasarkan angka. Tapi bagaimana lagi cara mengukur kehebatan seorang pelatih?
Apakah Ancelotti lebih baik dari Guardiola, Sacchi, atau bahkan Cruyff? Itu akan selalu jadi bahan perdebatan. Tapi satu hal pasti: Dalam dunia yang penuh dengan obsesi taktik, Ancelotti membuktikan bahwa jalan sunyi tanpa dogma juga bisa menghasilkan warisan yang agung.
TAG TERKAIT
BERITA TERKAIT
-
Gak Ikut Alonso ke Real Madrid, Jonathan Tah Bakal Gabung Klub Ini?
Liga Spanyol 13 Mei 2025, 22:11 -
Kembalinya Xabi Alonso ke Real Madrid Bisa Jadi Ancaman Bagi Milan
Liga Spanyol 13 Mei 2025, 21:37
LATEST UPDATE
-
Prediksi Chelsea vs Liverpool 4 Oktober 2025
Liga Inggris 3 Oktober 2025, 11:08 -
Oliver Glasner Tidak akan Pikir Dua Kali untuk Gabung MU!
Liga Inggris 3 Oktober 2025, 10:52 -
Inilah Deretan Laga yang Harus Dijalani Liverpool Tanpa Alisson
Liga Inggris 3 Oktober 2025, 10:51 -
Prediksi Inter Milan vs Cremonese 4 Oktober 2025
Liga Italia 3 Oktober 2025, 10:48 -
Didesak Boikot Israel dari Piala Dunia 2026, Begini Respon FIFA
Piala Dunia 3 Oktober 2025, 10:40 -
Hasil FP1 MotoGP Mandalika 2025: Luca Marini dan Honda Catat Waktu Tercepat
Otomotif 3 Oktober 2025, 10:40 -
Misteri Senne Lammens di MU: Sebenarnya Kiper Utama atau Pelapis Sih?
Liga Inggris 3 Oktober 2025, 10:36 -
Mengapa Transfer Robert Lewandowski ke AC Milan Tak Semudah yang Dibayangkan?
Liga Italia 3 Oktober 2025, 10:35
LATEST EDITORIAL
-
7 Pemain Premier League yang Kariernya Bisa Selamat Jika Pindah Januari
Editorial 2 Oktober 2025, 14:29 -
5 Top Skor Sepanjang Masa Liga Champions, Mbappe Mulai Mendekat
Editorial 2 Oktober 2025, 13:55
KOMENTAR